P |
utri Lalan
T |
empat Mandi Bidadari
Alkisah, disuatu dusun yang masih
belantara, terdapatlah sebuah bulak (tempat pemandian alam) yang sangat jernih
mata airnya. Konon ceritanya, ditengah malam hari setiap bulan purnama tanggal
empat belas, selalu didatangi oleh tujuh bidadari cantik dari kayangan yang
hendak berhajat mandi dan bersukacita.
Bulak tempat mandi-mandi ketujuh bidadari dari kayangan
itu memang masih perawan, karena memang
belum pernah ada seorangpun yang datang dan mandi disana. Di bulak itulah
ketujuh bidadari kayangan selalu mandi dan bermain dengan bebas serta
bersukacita.
Kejadian itupun terus berulang-ulang pada tengah malam
setiap bulan purnama yang keempat belas. Setelah usai mandi dan
bersenang-senang, ketujuh bidadari itupun kembali lagi terbang ke kayangan,
tempat tinggal para dewa. Air bulak bekas yang habis dipakai untuk mandi-mandi
para bidadari itu, selalu menimbulkan bau wewangian yang amat harum sekali.
Konon kabarnya harum wewangian di sekitar bulak itu tidak hilang-hilang sampai
tujuh hari lamanya.
Namun demikian, lambat laun tempat mandi-mandi para
bidadari itupun diketahui oleh salah seorang nenek tua. Kebetulan nenek tua,
penghuni di talang itu tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari tempat
mandi-mandi para bidadari.
Semula, pada suatu tengah malam di bulan purnama yang
keempat belas, nenek tua itu terjaga dari tidurnya, karena dari arah kejauhan
mendengar ada suara banyak orang sedang
mandi. Maka nenek tua itu keluar dari talangnya dan segeralah menuju ke arah
datangnya suara itu. Setelah nenek tua itu mendekati bulak dengan amat
perlahan-lahan, maka tertegunkah nenek tua itu melihatnya. Tak lama kemudian,
ketujuh bidadari itupun segera terbang ke angkasa menuju kayangan.
Nenek tua itupun segera kembali ke talangnya dengan
penuh tanda tanya dalam pikirannya. Tidak seberapa lama kemudian, tiba-tiba
hidung nenek itu menciumnbau wewangian yang semerbak harumnya. Bau wewangian
itu terus semerbak hingga mengganggu tidur si nenek tua. Bahkan pada keesokan
harinya, bau harum itupun masih tercium dihidungnya.
Oleh karena rasa ingin tahu itulah, maka bergegaslah
nenek tua itu menuju ke bulak. Sesampainya dibulak, nenek itu segera memeriksa
tempat yang habis dipakai mandi-mandi para bidadari semalam. Ditempat inilah
nenek tua menemukan berbagai jenis bunga-bungaan yang ternyata menimbulkan bau
wewangian yang amat luar biasa semerbaknya.
Maka tercetuslah perkataannya: “Oi, ternyata disinilah
sumber asal bau wewangiannya. Baru sekali ini kami melihatnya, ternyata tempat
ini amatlah indah, mata airnya jernih, sejuk lagi pula amat nyaman udaranya”.
Nenek itupun berpikir dalam hatinya, sambil memunguti bunga-bunga harum yang
beraneka warna. “Pastilah yang datang mandi-mandi disini bukan bangsa manusia,
melainkan bangsa bidadari, sebab mereka bisa terbang tinggi dan jauh hingga
menghilang di angkasa”.
Sesudah puas memeriksa bulak, nenek tua itupun segera
meninggalkan tempat itu, dan tiada lupa membawa segenggam bunga harum
warna-warni yang diambil dari bulak. Bunga-bunga itu kemudian disimpan di
talangnya, dan ternyata bunga-bunga itulah
yang menimbulkan bau wewangian yang semerbak hingga tujuh hari lamanya.
Sejak saat itulah nenek tua itu mengetahui bahwa
disekitar talangnya ada sebuah bulak, tempat mandi-mandi alam yang amat indah
pemandangannya. Mata airnya jernih, udaranya pun amat sejuk dan nyaman. Itulah
awal pengalaman yang menakjubkan bagi nenek tua yang tinggal sendirian di
talangnya.
Kejadian itupun
berulang terus-menerus setiap bulan purnama tanggal empat belas tengah
malam. Oleh sebab itu nenek tua itupun lama-lama menjadi terbiasa, dan tiada
menghiraukan lagi.
Sebenarnya pula, ketujuh bidadari itupun sudah merasa
curiga kalau ada bangsa manusia yang telah mengetahui kedatangannya di tempat
itu. Ketujuh bidadari itu mulai curiga, karena setiap hendak mandi lagi, ada
beberapa bunga yang hilang, bahkan tempat itu selalu bersih. Maka tiap kali
mereka hendak turun mandi ke bulak itu, selalu membawa bunga warna-warni dari
kayangan yang harumnya amat luar biasa.
Akhirnya ketujuh bidadari itu mengetahui bahwa yang
sering melihatnya dan mengambil bunga-bunganya, serta membersihkan tempat itu
adalah seorang nenek tua. Oleh karena si nenek tua itu dianggap tidak
mengganggunya, maka para bidadari itupun tiada terlalu merisaukannya.
B |
ujang Mengkurung dan Nenek Tua
Kisah selanjutnya, disebuah dusun yang
agak jauh dari talang nenek tua, hiduplah sepasang suami-istri yang sudah cukup
tua dengan seorang anak bujangnya. Oleh karena keduanya sudah tua, maka
sibujang itulah yang tiap harinya mencarikan makanan untuk kebutuhan hidup
sehari-hari.
Hampir tiap hari si bujang keluar masuk hutan berburu
binatang, mengambil ubi-ubian, memancing ikan, serta mengambil kayu bakar.
Pendek cerita si bujang itulah yang menjadi tumpuan harapan bagi orang tuanya.
Oleh karena itu, si bujang itu lebih dikenal dengan nama Bujang Mengkurung.
Pada suatu hari pergilah Bujang Mengkurung itu masuk ke
hutan hendak berburu binatang. Untung tak dapat diraih, malang pun tak dapat
ditolak. Hari sudah menjelang senja, tetapi Bujang Mengkurung belum juga
mendapatkan hasil buruannya. Biasanya sebelum matahari condong ke barat, Bujang
Mengkurung sudah pulang ke rumah dengan
membawa hasil buruannya.
Padahal, bekal makanan dan minum yang ia bawa itu sudah
habis. “Sudahlah kepalang basah, lebih baik tak pulang ke rumah daripada belum
menghasil buah,” guman Bujang Mengkurung. Si Bujang Mengkurung itupun berjalan
terus dengan gontainya hingga sudah tidak tahu lagi arah rimbanya. Maka iapun
tersesat di tengah belantara.
Namun keberuntungan masih berpihak pada Bujang
Mengkurung, karena pada saat malam tiba ia menemukan sebuah talang. “Oi,
beruntunglah aku ini dapat tempat untuk berteduh,” gumannya lirih sambil
menghela napas panjang. Maka, segeralah Bujang Mengkurung mengetuk pintu talang
itu. Tak seberapa lama kemudian, muncullah nenek tua itu sambil membawa lampu
penerang yang terbuat dari bambu.
Setelah dipersilahkan masuk, Bujang Mengkurung itupun
memperkenalkan diri, lalu menceritakan asal-usulnya hingga ia tersesat di
talang nenek tua itu. Mendengar ceritera Bujang Mengkurung itu, nenek tua
menjadi iba dan penuh haru. Maka dengan rasa tulus nenek tua itu memberi
makanan serta minuman kepada Bujang Mengkurung.
N |
enek Tua Buka Rahasia
Sungguhlah beruntung bagi Bujang
Mengkurung, karena nenek tua itu telah memperlakukannya dengan ramah dan penuh
kasih sayang. Bahkan Bujang Mengkurung telah dianggabnya sebagai cucunya
sendiri. Maka merekapun saling berceritera tentang pengalaman hidupnya
masing-masing.
Malam terus berjalan sesuai dengan kodratnya hingga
menjelang larut. Tiadalah mungkin Bujang Mengkurung itu pulang ke rumahnya.
Nenek tua itupun tak tega membiarkan Bujang Mengkurung pulang dilarut malam.
Maka Bujang Mengkurung itupun berinap di talang nenek tua itu.
Sebenarnya, ketika Bujang Mengkurung itu memasuki talang
nenek tua itu, ia telah mencium bau wewangian yang harumnya amat menusuk
hidungnya. Oleh karenanya, Bujang Mengkurung tak dapat tidur dengan lelap.
Bahkan sebentar-sebentar terjaga dari tidurnya karena semerbak bau wewangian
yang luar biasa harumnya. Setelah mengamati sekitarnya, secara samar-samar, ia
menatap tumpukan bunga-bunga yang beraneka warna.
“Barangkali bunga-bunga itulah yang mengeluarkan bau
yang amat harum,” pikirnya dalam hati. Tetapi Bujang Mengkurung tidak berani
menanyakan hal itu kepada nenek tua, karena malam telah berlarut.
Pada keesokan harinya, sebelum mohon diri, Bujang
Mengkurung memberanikan diri menanyakan tentang bau harum serta hubungannya
dengan bunga-bunga yang menumpuk dalam talang nenek tua itu. Mulanya, nenek tua
itu agak enggan berceritera. Tetapi, setelah menatap Bujang Mengkurung yang
penuh menghiba itu, maka diceritakanlah hal ikhwal tentang rahasia tumpukan
bunga itu.
Bujang Mengkurung sangat tertarik sekali dengan ceritera
nenek tua itu. Lebih-lebih ceritera tentang tujuh bidadari yang sering mandi di
bulak pada tengah malam setiap bulan purnama yang keempat belas. Maka ia sangat
berharap untuk dapat melihat ketujuh bidadari yang sering mandi itu. Bujang
Mengkurung lalu mohon pamit, dan berjanji kelak akan datang lagi ke talang
nenek tua jika hendak menjelang bulan purnama yang keempat belas.
L |
arangan Turun ke Bumi
Dikisahkan selanjutnya, di kayangan
tempat tinggal bangsa dewa dan bidadari, sedang mengadakan persidangan
istimewa. Oleh karena itu yang hadir dalam persidangan istimewa hanyalah para
pucuk pimpinanan dewa saja. Adapun yang sedang dibahas adalah firasat datangnya
hari buruk yang akan menimpa kehidupan di kayangan.
Pada akhirnya, dalam persidangan itupun telah dicapai
kata sepakat, bahwa demi keselamatan kehidupan di kayangan, maka untuk
sementara waktu penghuni kayangan tidak diperkenankan turun ke bumi. Jikalau
ada dewa atau bidadari yang melanggar larangan tersebut, maka akan menanggung
sendiri akibatnya.
Setelah mendengar keputusan para pucuk pimpinan dewa,
maka gundah gulanalah rasa hati para bidadari itu. Terlebih-lebih ketujuh
bidadari yang selalu turun ke bumi tiap bulan purnama tanggal keempat belas.
Ketujuh bidadari itu kakak beradik. Adapun nama ketujuh bidadari itu masing-masing
ialah: Nawang Sasi, Nawang Sari, Nawang
Lintang, Nawang Dadar, Nawang Langit, Nawang Terang, serta si bungsu Nawang
Wulan.
Ketujuh bidadari kakak beradik itu amatlah sedih, karena
tiada lama lagi bulan purnama tanggal keempat belas akan segera tiba. Dengan
adanya larangan tersebut, maka mereka tidak dapat lagi turun ke bumi untuk
mandi-mandi dan bersukacita.
Diantara tujuh bersaudara, yang paling sedih dan gundah
gulana adalah Putri Lalan (panggilan akrab Nawang Wulan). Sebagai putri bungsu,
Lalan memang sangat dimanja baik oleh kedua orang tuanya, maupun oleh
kakak-kakaknya. Apa saja yang dikehendaki oleh si bungsu Putri Lalan itu,
selalu dituruti oleh kedua orang tuanya.
Akan tetapi kali ini rupanya Putri Lalan amat sungguh
kecewa. Sehari-hari kerjanya Putri Lalan hanyalah murung saja. Makan tiada
hendak, diajak bermain pun menolak. Padahal keenam kakaknya itu sudah berusaha
untuk menghibur dan membujuknya agar Putri Lalan mau makan serta tidak bermuram
durja. Akan tetapi, Putri Lalan masih tetap menolak bujuk rayu dari keenam
kakaknya.
M |
elanggar Larangan Dewa
Jikalau hati sudah terpikat, hasrat
sudah menguat, beban hatipun terasa berat untuk meninggalkan hajat. Begitulah
kiranya perasaan hati Lalan yang semakin menderita. Badannya pun semakin kurus,
raut wajahnya yang dulu ceria pun kini terus memucat.
Melihat si bungsu Lalan yang kian menderita, maka keenam
kakaknya itupun mengadakan mufakat untuk menuruti apa yang menjadi kehendak
adiknya itu. Maka segeralah keenam kakaknya itu mendekati Lalan.
"Duhai dindaku Lalan nan tercinta, sungguh nian
keenam kakak ini tiada tega menatap dinda yang tiada berhenti menderita.
Jikalau dinda terus bersedih, tentu kami berenam pun larut dalam kepedihan.
Katakanlah dindaku, apa yang sesungguhnya dindaku kehendaki, maka pastilah
kandamu berenam akan mendukungmu,” ujar Nawang Sasi yang mewakili
saudara-saudara itu.
Mendengar ketulusan perkataan dari kandanya itu, maka
berkatalah si bungsu Putri Lalan dihadapan keenam kakaknya; “Ya ayunda berenam
nan baik budi, jikalau sungguh ayunda berenam hendak menuruti hasrat dinda,
marilah kita bertujuh turun ke bumi. Sebab, dinda sungguh tiada bergairah hidup
lagi, bilamana keinginan dinda ini tiada terpenuhi”.
Setelah saling bertatapan dengan penuh keharuan, keenam
kakak-beradik itupun segera memeluk erat-erat si bungsu Putri Lalan secara
bergantian. Ketujuh bidadari nan cantik jelita itupun bersepakat, seia sekata
dan bertekad akan turun kebumi. Apapun akibat pelanggaran dari larangan para
dewa itu, akan dihadapi bersama baik dalam duka nestapa maupun sukacita, dalam
derita ataupun bahagia.
T |
urun ke Bumi
Hari berganti hari, waktu terus
berlalu. Tak terasa bulan purnama tanggal empat belas pun menjelang tiba. Saat
itulah yang ditunggu-tunggu oleh ketujuh bidadari itu untuk menuruti hasratnya.
Perbekalan telah dipersiapkan, bunga-bunga kayangan pun tiada ketinggalan.
Pertanda perjalanan menuju ke bumi hendak dimulai.
Setelah segala sesuatunya telah siap, maka ketujuh
bidadari itupun segera turun ke bumi. Mereka bertujuh telah meninggalkan
kayangan, melupakan pesan, serta melanggar larangan, demi mencapai tujuan,
menuruti keinginan si bungsu Putri Lalan.
Tak seberapa lama kemudian, sampailah mereka ditempat
tujuan. Bulak, tempat mandi-mandi dan bersukacita sudah dipelupuk mata. Hasrat
dan kerinduan pun segera terlaksana. Ketujuh bidadari kakak-beradik itupun
segera melepaskan pakaian terbangnya satu persatu.
Sebagaimana biasanya, Putri Lalan lah yang melepas
pakaian terbangnya terlebih dahulu, lalu ditumpuki oleh pakaian kakak-kakaknya.
Oleh karenanya pakaian Putri Lalan itu selalu berada paling bawah. Dengan
demikian Putri Lalan lah yang paling duluan mandinya, dan selesainya pun paling
belakangan. Mereka kemudian bersenang-senang menikmati mata air nan jernih,
udara nan sejuk, serta pemandangan alam yang indah. Bunga-bunga kayangan pun
bertaburan di sekitar pemandian, serta menyerbakkan bau wewangian yang harumnya
sangat luar biasa.
P |
akaian Terbang Putri Lalan Hilang
Jernih nian mata air rimba pegunungan,
hawanya sejuk lagi nyaman. Siapapun gerangan yang datang, pastilah pantang
untuk melupakan. Begitulah kiranya perasaan ketujuh bidadari yang sudah sering
mandi di bumi. Terlebih si bungsu Putri Lalan yang sudah dimabuk kepayang,
merindukan mata air rimba pegunungan.
Biasanya ketujuh bidadari nan cantik itu tiadalah
berlama-lama mandinya. Tetapi, entah mengapa kali ini mereka begitu lama
bersenang-senang, hingga tiada ingat lagi waktunya untuk terbang kembali ke
kayangan. Dan biasanya pula, si bungsu Putri Lalan lah yang memberi isyarat
untuk segera terbang kembali ke kayangan.
Malam semakin melarut hingga hampir fajar, ketujuh
bidadari itupun menyadari akan waktunya. Tanpa menunggu isyarat dari si bungsu
Putri Lalan, lalu bergegaslah mereka mengambil pakaian terbangnya. Oleh karena
tumpukan pakaian Putri Lalan itu berada paling bawah, maka Putri Lalan lah yang
paling belakangan mengambilnya.
Namun betapa terkejutnya si bungsu Putri Lalan, ketika
melihat pakaian terbangnya sudah tidak tampak lagi. Pakaian si bungsu Putri
Lalan telah hilang, sementara kakak-kakaknya sudah berpakaian terbang semua.
Dilihatnya si bungsu Putri Lalan kebingungan mencari pakaian terbangnya, maka
keenam kakaknya itupun segera ikut mencarinya. Setelah dicari kesana-kemari
tiada hasilnya, maka menangislah ia tersedu-sedu. Keenam kakaknya pun turut
meratapi nasib adiknya yang amat dicintai itu.
P |
erpisahan yang Mengharukan
Malang nian nasib si bungsu Lalan itu,
karena telah kehilangan pakaian terbangnya. Isak tangisnya pun semakin
menjadi-jadi. Sementara batas waktu kian mengejarnya karena fajar sudah hampir
tiba. Sungguh, bagaikan buah simalakama, meninggalkan si bungsu Putri Lalan
sendirian tiadalah sampai hati, Bertahan di bumi lama-lama pun tiadalah
mungkin. Akan tetapi, merekapun harus memilihnya.
Setelah termenung agak lama, lalu berkatalah dengan
lirihnya si bungsu Putri Lalan itu kepada keenam kakaknya; “Duhai kanda-kandaku
tercinta, memang sudah suratan nasib dinda, tiadalah bijak kandaku
berlama-lama, karena ayah-bunda pastilah kecewa. Biarlah dinda menanggung
akibatnya, jikalau kelak telah tertebus dosa, niscaya kita dapat bersama lagi.”
Mendengar perkataan si Bungsu Putri Lalan yang amat mengharukan itu,
menjawablah salah seorang dari keenam kakaknya. “Ya adindaku yang amat
kusayang, tiadalah tega ayunda meninggalkanmu seorang. Andaikan ku dapat
meminjamkan baju terbang, tentulah nasibmu tiada malang.”
Merekapun saling berpelukan erat disertai tetesan air
mata yang terus mengalir dengan derasnya. Tak seberapa lama kemudian, dengan
hati yang pilu, keenam kakaknya itu pun lalu terbang meninggalkan Putri Lalan
sendirian di tengah rimba belantara.
S |
i Pencuri Pakaian Terbang
Siapa sebenarnya yang mencuri pakaian
terbangnya Putri Lalan (panggilan akrab Nawang Wulan). Pencurinya tiada lain
adalah si Bujang Mengkurung. Rupanya, si Bujang Mengkurung itu sudah lama
menunggunya, dan bersembunyi dibalik semak-semak.
Setelah diberitahu oleh Nenek Tua, tentang tempat
pemandiannya para bidadari, maka timbullah hasrat hati si Bujang Mengkurung
untuk melihatnya. Sejak pulang dari rumah nenek tua itulah ia menjadi seorang
yang pemalas. Ia pun mulai jarang membantu kedua orang tuanya untuk menanam
padi-padian, mencarikan ubi-ubian, berburu binatang, maupun memancing ikan.
Kedua orang tuanya menjadi terkejut melihat perubahan
perangai anak tunggalnya itu. Kerjanya hanya menghitung hari dan bulan. Rupanya
yang dipikirkan adalah menunggu datangnya bulan purnama. Maka.
Berbulan-bulanlah ia memikirkannya. Bahkan ia sering termenung seorang diri di
atas bebatuan.
Pada suatu ketika didekatilah si Bujang Mengkurung oleh
kedua orang tuanya, kemudian bertanya; “Hai Jang, apakah gerangan yang
dipikirkan, berharian di atas batuan, bermenung tanpa kawan. Kerja tak hendak,
makan tak enak, tidur pun tak nyenyak”. Maka menjawablah si Bujang Mengkurung;
“Memang benar apa kata Ayah bunda, maafkan beta lupa bekerja, karena menunggu
bulan purnama. Jikalau purnama menjelang tiba, izinkan lah beta ke talang nenek
tua”. Setelah mendengar jawaban dari anaknya, Ayah Bundanya pun menjadi maklum
adanya.
Hari kian berlari, bulan pun silih berganti. Tak
seberapa lama, tibalah saat yang dinanti-nanti. Tatkala bulan purnama hendak
menjelang, Si Bujang Mengkurung pun berhati riang. Maka berpamitanlah kepada
kedua orang tuanya untuk pergi berkelana.
Tak lama kemudian sampailah si Bujang Mengkurung di
talang nenek tua itu. Oleh karena bulan purnama tanggal empat belas semalam
lagi, maka Bujang Mengkurung itupun bermalam disana. Dan keesokan harinya,
Bujang Mengkurung lalu ditunjukkan oleh nenek tua, tempat pemandian ketujuh
bidadari itu.
Tepat tengah hari, sampailah mereka ke tempat tujuan.
Setelah mengantar Bujang Mengkurung, nenek tua itupun segera kembali ke
talangnya. Bujang Kesian kemudian mencari tempat untuk persembunyiannya.
Waktu terus berputar, malampun sudah menjalar. Dari
balik semak belukar, sepasang mata terus mengincar. Perasaan mulai gusar,
denyut jantung pun kian berdebar. Tiba-tiba muncul bola-bola sinar kian
berpijar kian berbinar. Bagaikan sinarnya halilintar, seolah membakar alam sekitar.
Badan kekarpun jadi gemetar, menatap sinar dari semak belukar. Tetapi dengan hati yang sabar, Bujang
Mengkurung pun tak beranjak keluar.
Dibalik kemilaunya sinar cahaya, segeralah tampak
wajah-wajah elok nan juwita. “Oi, rupanya ini yang namanya bidadri, indah nian
mata memandangnya. Wuah, mereka sedang melucuti pakaiannya. Aduhai elok nian
tubuhnya. Sungguh beruntung sekali jikalau dapat salah satu diantaranya. Tetapi
bagaimana caranya? Barangkali aku harus mencuri pakaiannya,” gumannya dalam
hati si Bujang Mengkurung dengan kedua
matanya yang terus menatap.
Setelah berpikir sejenak , mulailah si Bujang Mengkurung
itu merayap perlahan-lahan mendekati tumpukan pakaian ketujuh bidadari itu.
Disaat ketujuh bidadari itu sedang terlena, si Bujang Mengkurung lalu mengambil
salah satu pakaian yang paling bawah sendiri. Dan ternyata, yang diambil itu
adalah pakaian bidadari Nawang Wulan (Putri Lalan). Setelah berhasil
mengambilnya, lalu dimasukkan dalam bungkusan miliknya. Si Bujang Mengkurung
pun segera menjauhi tempat pemandian bidadari itu, sambil memikirkan rencana
selanjutnya.
P |
utri
Lalan dan Bujang Mengkurung
Semenjak ditinggal terbang oleh
kakak-kakaknya, Putri Lalan menjadi sebatang kara. Untuk menutupi tubuhnya yang
hampir telanjang, dikumpulkannya kulit-kulit pohon yang lebar-lebar, serta
tangkai-tangkai yang daunnya rimbun. Dengan hati yang pasrah Putri Lalan terus
berjalan tanpa tahu arah dan tujuan. Belum seberapa lama berjalan, kaki Lalan
sudah terasa kecapaian. Maklum, bidadari seperti Putri Lalan memang belum
pernah berjalan sampai sejauh itu.
Setelah melepas kecapaian, Putri Lalan terus melanjutkan
perjalanannya, dan tak seberapa lama kemudian, sampailah ia di rawa-rawa.
Rupanya si Bujang Mengkurung sudah ada di tempat itu dengan santainya mengail
ikan. Tanpa ragu-ragu, Putri Lalan pun segera mendekatinya, lalu bertanya; “Wahai tuan, sedang apakah gerangan yang tuan
lakukan disini?” Dengan acuh tak acuhnya si Bujang Mengkurung itu menjawabnya;
“Hamba sedang mengail ikan”. Lalan kemudian melanjutkan pertanyaannya; “Adakah tuan melihat pakaian terbang hamba?”
Si Bujang Mengkurung itupun hanya menggelengkan kepala.
Oleh karena diliriknya Putri Lalan tiada berpakaian
layak, maka disodorkannya sehelai kain. Putri Lalan pun segera menyambutnya
dengan sukacita, seraya berkata; “Duhai
tuan yang baik hati, tuan sudi memberikan kain ini kepada hamba. Sudah barang
tentu hamba telah berhutang budi, dan rasanya hamba ingin sekali balasnya,
tetapi tiada suatu apapun yang hamba miliki.” Mengkurung pun segera
menyahutnya; “Ya tuan putri nan juwita sekali, tiadalah hamba menghutangkan
budi. Tetapi kalau hendak balas memberi, berikanlah hamba sebuah cinta yang
tulus hati.
Putri Lalan semula tiada menyangka arah perkataan Si
Bujang Mengkurung. Setelah berpikir sejenak, Putri Lalan baru menyadari bahwa
dirinya tidak punya pilihan lain, kecuali menyerahkan cintanya. Dan akhirnya
Putri Lalan bersedia memberikan cintanya kepada Si Bujang Mengkurung itu.
Namun demikian, Putri Lalan mempunyai persyaratan yang
harus dipenuhi oleh Si Bujang Mengkurung.
Adapun syaratnya tidak terlalu berat. Pertama, jangan sekali-kali
menyakiti hati Putri Lalan. Kedua, antara sepasang suami- isteri jangan
menyimpan rahasia dan tak boleh membohongi. Mendengar persyaratan yang diajukan
oleh Putri Lalan itu, Si Bujang Mengkurung pun menyanggupinya. Si Bujang Mengkurung berjanji tidak akan
menyakiti hati Putri Lalan, dan juga tidak akan membohonginya.
Setelah saling berjanji, keduanya lalu saling
bertatapan, dan segera berpelukan erat. Sejak saat itulah mereka saling
menyayangi, mengasihi, dan mencintai. Bujang Mengkurung pun segera mengajaknya
pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah Si Bujang Mengkurung, maka Putri
Lalan segera memperkenalkan diri serta asal-usulnya. Mendengar penuturan Putri
Lalan, maka kedua orang tua Si Bujang Mengkurung itupun menyambutnya dengan
penuh kekaguman. “Sungguh beruntung sekali Bujang kita ini, pulang ke rumah
membawa seorang bidadari,” bisik ayah Si Bujang Mengkurung kepada bininya. Ibu
Si Bujang itupun balas membisik; “Ya, sebentar lagi kita akan punya menantu
bidadari nan cantik jelita.”
Rupanya kedua orang tua Si Bujang Mengkurung telah
sepakat untuk menikahkan anaknya. Tak lama kemudian, datanglah hari yang baik,
maka Si Bujang Mengkurung dan Lalan segera dinikahkan. Oleh karena mereka hidup
disebuah dusun yang terpencil, dan masih jarang penduduknya, maka upacara
pernikahannya dilakukan dengan cara yang amat sederhana.
Putri Lalan pun akhirnya menjadi istri Si Bujang
Mengkurung. Sebagai seorang istri, Putri Lalan selalu menunjukkan kesetiaannya
kepada sang suami. Bahkan Putri Lalan terkesan amat rajin mengerjakan segala
macam pekerjaan rumah. Kerjanya antara lain, membersihkan rumah, menyapu
halaman, mencuci, dan memasak. Semua pekerjaan dilakukan dengan sungguh-sungguh
dan rasa tulus.
Melihat Putri Lalan yang tiap hari rajin membersihkan
rumah, maka Si Bujang Mengkurung pun menjadi was-was. Takut kalau-kalau pakaian
terbang yang disembunyikannya di kuda-kuda (langit-langit) di atap rumahnya itu
diketemukan oleh istrinya. Oleh karena itu setiap Bujang Mengkurung hendak
pergi ke ladang, selalu berpesan agar jangan membersihkan langit-langit atap
rumah. Putri Lalan pun selalu menurut apa yang dipesankan oleh suaminya tanpa
rasa curiga sedikitpun.
Waktu terus saja berlalu, bulanpun semakin cepat
berjalan. Tak disadari jalinan cinta mereka telah membuahkan hasil. Ternyata
perut Putri Lalan telah menunjukkan tanda-tanda kahamilan. Dilihatnya perut
Putri Lalan telah mengandung, maka giranglah hati Si Bujang Mengkurung.
Demikian pula ayah-bundanya.
Setelah berjalan sembilan bulan sepuluh hari, maka
lahirlah seorang anak laki-laki yang mungil. Suami-istri serta kedua orang tua
Si Bujang Mengkurung segera menyambutnya dengan sukacita. Setelah dimandikan
dan di bersihkan, bayi laki-laki yang mungil dan lucu itupun segera disusuinya,
serta dibelainya dengan penuh kasih sayang. Si Bujang Mengkurung dan kedua
orang tuanya pun juga sering menimang-nimang serta membuainya secara
bergantian.
R |
ahasia Terbongkar
Semenjak Lalan menjadi seorang ibu,
pekerjaan Putri Lalan semakin bertambah banyak. Selain memasak, mencuci
pakaian, melayani suami, dan membersihkan rumah serta pekarangan, juga masih
merawat, mengurus, dan membesarkan anak. Namun demikian, tiada menjadikan Putri
Lalan sebagai seorang ibu yang malas, bahkan Putri Lalan semakin rajin
kerjanya. Akan tetapi setiap akan membersihkan langit-langit rumah, selalu
dilarang oleh Mengkurung. Padahal langit-lagit rumah itu semakin kotor, karena
tidak pernah dibersihkan.
Lama-kelamaan perasaan Putri Lalan menjadi semakin tidak
enak, bahkan kian bertambah curiga kepada suaminya. Ia pun sering
bertanya-tanya dalam hati. Adakah gerangan yang disembunyikan, jangan-jangan
ada sesuatu hal yang dirahasiakan oleh suamiku. Bukankah suamiku pernah
berjanji untuk tidak menyakitiku? Pikirnya dalam hati. Sepandai-pandainya tupai
melompat, pada akhirnya akan jatuh jua. Serapat-rapatnya rahasia tentang
kejahatan, suatu ketika akan terbongkar juga dengan sendirinya.
Pada suatu hari, tatkala Si Bujang Mengkurung sedang ada
di ladang, tiba-tiba timbul niat untuk membersihkan langi-langit rumah yang
amat kotor itu. Maka, segeralah Putri Lalan mengambil tangga untuk naik ke
langit-langit rumah. Setelah tangga itu dipasang, lalu naiklah ia sambil
membawa sapu lidi. Beberapa saat kemudian sampailah Putri Lalan di atap rumah.
Maka mulailah ia membersikan seluruh debu dan kotoran yang menempel di
langit-langit rumah itu. Ketika Putri Lalan sedang menyapu di bagian kuda-kuda
(kaki penyangga langit-langit rumah) terlihatlah olehnya seberkas bola sinar
yang berpijar amat terang.
Putri Lalan terkejut sekali, bahkan hampir saja
terjatuh. Setelah didekati dan diperiksa dengan penuh hati-hati, ternyata
hanyalah sepotong bambu besar yang panjangnya sekitar satu lengan. Tetapi bambu
itu sangat aneh karena memancarkan sinar yang amat terang.
Oleh karena rasa penasaran ingin tahu isinya, maka bambu
itupun segera dibukanya. Betapa terkesimanya Putri Lalan, karena isinya
ternyata sehelai pakaian terbangnya yang telah hilang tak tertentu rimbanya.
Seketika raut wajahnya yang semula agak pucat itu telah berubah menjadi ceria.
Pakaian terbangnya itu segera dipegangnya erat-erat, lalu segera dibawanya
turun. Kemudian bergegas ia menyembunyikan pakaian terbangnya itu. “Tiada sangka aku bisa menemukan pakaian
terbangku kembali. Inilah rupanya rahasia yang disimpan oleh suamiku,” gumannya
dalam batin.
Tak lama kemudian pulanglah Si Bujang Mengkurung dari
ladangnya. Seperti biasanya, Putri Lalan pun segera menyiapkan makanan untuknya.
Hal itu sengaja dilakukan agar suaminya tiada menaruh curiga kepadanya. Pada
saat itulah Putri Lalan sengaja mencoba mengutarakan keinginannya lagi
untuk membersihkan langit-langit rumah.
Tetapi Bujang Mengkurung masih tetap melarangnya. Ketika Putri Lalan menanyakan
sebab musababnya, tiba-tiba Bujang Mengkurung sangat marah dan membentaknya
keras-keras.
Putri Lalan yang belum pernah diperlakukan kasar seperti
itu, lalu menangis tersedu-sedu, seraya berucap ; “Mengapa kanda tega membentak
dinda yang selalu setia, bukankah kanda pernah berjanji takkan menyakiti hati
dinda”? Bujang Mengkurung pun membalasnya; “Jikalau dinda tiada memulai, tentu
kandapun tiada memarahi. Maka kanda ingatkan, jangan lagi dinda menanyakan apa
yang aku larangkan.
Mendapat jawaban yang tak diharapkan itu, hati Lalan
semakin remuk redam. Namun demikian Putri Lalan masih merahasiakan hasil
temuannya. Putri Lalan hanya ingin menguji sampai dimana ketulusan dan
kejujuran suaminya itu. Oleh karena dinilainya sudah tidak jujur dan tulus
lagi, maka Putri Lalan berniat akan meninggalkannya.
Sejak kejadian itulah tiba-tiba Putri Lalan jadi rindu
kepada Ayah Bundanya, serta kakak-kakaknya di kayangan. “Barangkali memang
sudah tertebus dosa-dosa hamba, maka sudah saatnya pula hamba harus kembali ke
kayangan,” tekadnya dalam hati.
Pada keesokan harinya, setelah Bujang Mengkurung pergi
berladang, Putri Lalan pun mempersiapkan diri, hendak meninggalkan sang suami.
Baju terbangnya telah disandang, anaknya pun digendong belakang. Maka segeralah
ia menemui Si Bujang Mengkurung yang sedang berladang.
Bujang Mengkurung pun terkejut melihat Putri Lalan
datang dengan memakai baju terbangnya sambil menggendong anaknya. Belum sempat
Bujang Mengkurung bertanya, Putri Lalan pun telah mendahului berkata; “Wahai
Kanda tersayang, kini tibalah saatnya perpisahan. Dinda bersama anakanda hendak
kembali ke kayangan, meninggalkan kanda seorang. Jikalau Kanda kelak rindu
nian, pandanglah saja dari kejauhan, karena dinda berdua dalam rembulan.” Putri
Lalan pun segera terbang pelan-pelan, meninggalkan Bujang Mengkurung.
Setelah dilihatnya Putri Lalan terbang bersama anaknya,
maka menjeritlah keras-keras Si Bujang Mengkurung: “Lalaaan beleeek! Lalaaan
beleeek! Lalaaan beleeek! ( belek artinya kembali).
K |
embali ke Kayangan
Ceriteranya, tatkala keenam
kakak-kakak Putri Lalan itu sampai di kayangan, maka segeralah mereka berenam
menghadap Ayah Bundanya. Apapun yang akan menimpanya, mereka sudah pasrah dan
siap menerima hukuman. Keenam kakak beradik itu telah memaklumi, bahwa kasih
sayang Ayah Bundanya terhadap si bungsu Putri Lalan amatlah sangat mendalam.
Oleh karenanya, merekapun tentunya mendapat marah dan hukuman yang berat.
Benarlah apa yang telah mereka ramalkan berenam. Setelah
mendengar cerita keenam anaknya, dan tidak melihat Putri Lalan di hadapannya,
maka terkejutlah Ayah Bundanya. Bahkan karena amat sayangnya, Bundanya pun
terus jatuh pingsan tak sadarkan diri. Sedangkan Ayahandanya meluapkan
amarahnya kepada mereka berenam. Kemudian mereka berenam tidak diperbolehkan
masuk rumah, hingga adiknya Putri Lalan kembali lagi ke kayangan.
Maka sejak itulah, keenam kakak beradik pun hidupnya
terlantar. Kerjanya tiap hari hanya termenung sambil berdendang pilu, meratapi
si bungsu Putri Lalan yang amat dicintainya. “Oi, Putri Lalan belek ne asoak,
tumitne awea teno desoak”, begitulah dendang pilunya keenam kakak Putri Lalan.
Mereka sangat menyesal karena telah menuruti keinginan
adiknya yang ternyata berakibat sangat fatal. Apa gunanya penyesalan, jikalau
sudah kejadian. Padahal para dewa telah membuat larangan, itulah akibat dari
pelanggaran.
Setelah sekian tahun lamanya, tiba-tiba Putri Lalan
muncul dihadapan kakaknya. Mereka terperanjat melihat si bungsu Putri Lalan
kembali dengan menggendong anak di belakangnya. Oleh karena sudah menanggung
rindu yang amat mendalam, maka merekapun segera menyambutnya dengan sukacita,
serta saling berebut duluan untuk memeluk putri Lalan erat-erat.
Keenam kakaknya itu kemudian berlari menghadap Ayah
Bundanya, seraya berteriak dengan kerasnya; “nek inok! Putri Lalan belek! Putri
Lalan belek, nek inok! Putri Lalan belek!
Putri Lalan belek! (Ayah- Bunda! Putri Lalan pulang ! Putri Lalan pulang
! nek inok! Putri Lalan pulang ! Putri Lalan pulang !). Setelah melihat kembali
si bungsu Putri Lalan yang telah lama menghilang, maka kedua Ayah Bundanya pun
menyambutnya dengan girang bercampur haru.
(TAMAT).
Komentar
Posting Komentar